MACAM-MACAM METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN.
23 Selasa Apr 2013
Posted Tafsir Al Quran
in23 Selasa Apr 2013
Posted Tafsir Al Quran
in12 Selasa Mar 2013
Posted Al Quran, Keajaiban Al Quran, Tadabbur al quran
inDiantara adab secara batin tatkala membaca Al-Qur’an ialah apa yang disebut Al-Imam Al-Ghazaly dengan istilah takhshish (pengkhususan). Artinya, membuat ketetapan di dalam hati bahwa dialah yang dimaksudkan dari setiap seruan di dalam Al-Qur’an, sehingga dia beralih dari hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat khusus. Jjika dia m embaca atau mendengar suatu perintah atau larangan di dalam Al-Qur’an, maka dia menganggap bahwa dialah yang sedang diperintah dan dilarang yang pertama kalinya. Begitu pula ketika dia membaca atau mendengar janji dengan suatu pahala, ancaman dengan suatu siksaan, maka dia menganggap bahwa dirinya dimaksud dengan kabar gembira atau dialah yang diperingatkan dengan suatu siksaan. Jika dia mendengar atau membaca suatu kisah orang-orang terdahulu dan para nabi beserta kaumnya, maka tidak mungkin dia melibatkan diri dalam kisah itu, tapi dari harus mengambil pelajaran dari kisah itu dan mengambil apa yang bisa diambilnya atau dibutuhkannya, sebagaimana firman-Nya,
“ Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Yusuf : 111)
“Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu;” (Hud : 120)
12 Selasa Mar 2013
Posted Al Quran, Tadabbur al quran, Tafsir Al Quran
inTanda-tanda tadabbur
Allah telah menyebutkan dalam Al-Qur’an berkaitan dengan tanda-tanda tadabbur. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, “Ya Rabb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad).” (QS. Al-Ma’idah: 83).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfaal: 2).
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka diantara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah diantara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124).
“Katakanlah, “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang yang diberi pengetahuan sebenarnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, “Mahasuci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.” Dan mereka menyungkur aras muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Israa’:107-109)
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”(QS. Maryam: 58).
”Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73).
“Dan apabila dibacakan (Al-Qur’an) kepada mereka, mereka berkata, “Kami beriman kepadanya, sesunguhnya Al-Qur’an itu adalah suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (nya).” (QS. Al-Qashash: 53).
Berdasarkan ayat-ayat diatas, dapat disimpulkan tanda-tanda tadabbur, yaitu:
Sumber:
Kunci-Kunci Tadabbur Al-Qur’an, Dr. Khalid bin Abdul Karim Al-Laahim: Pustaka An-Naba’
12 Selasa Mar 2013
Posted Al Quran, Tadabbur al quran, Tafsir Al Quran
inMenafsirkan satu ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Alquran itu menerangkan makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya : “ Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati.” [QS.Yunus : 62].
Lafadz Auliya’ (wali-wali), ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : “ Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” [QS.Yunus : 63].
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah Wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa Wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara ghaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan yang bathil yang lain. Dalam hal ini, Karomah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena Karomah itu bisa saja tampak bisa juga tidak.
Adapun hal –hal yang aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang Ahli Bid’ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang Majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan Karomah, tetapi sihir seperti yang di firmankan Allah, artinya : “Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka.” [QS. Thaha :66].
Menafsirkan ayat Alquran dengan hadits shahih sangatlah penting, bahkan harus. Allah menurunkan Alquran kepada Rasulullah tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman Allah, yang artinya : “… Dan Kami turunkan Alquran kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan.” [QS. An-Nahl : 44].
Rasulullah bersabda yang artinya : “ Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Alquran dan yang seperti Alquran bersama-sama.” [HR. Abu Daud].
Berikut beberapa contoh Tafsirul ayat bil hadits :
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda yang artinya : “ Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang di berikan kepada mereka. “ kemudian Beliau membaca ayat ini. [HR.Muslim].
Menurut Abdullah bin Mas’ud, para Sahabat merasa keberatan karenanya. Kemudian mereka pun bertanya , “ Siapa di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya ya Rasul ?” Beliau menjawab, “ Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kedzaliman di ayat itu adalah Syirik. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada putranya yang artinya : “ Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh kedzaliman yang sangatlah besar.” [HR. Muslim].
Dari ayat dan hadits itu dapat di ambil kesimpulan : Kedzaliman itu urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut Syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
Merujuk kepada penafsiran Sahabat terhadap ayat-ayat Al Qur’an seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, disamping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari Beliau. Berikut ini contoh Tafsir dengan ucapan Sahabat, tentang ayat yang artinya : “ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [QS. Thaha : 5].
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu ‘Abbas dan para Ahli Tafsir lain, Istiwa itu maknanya Irtafa’a (naik atau meninggi).
Tidak di ragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsirkan ayat-ayat Alquran , mengetahui gramatika bahasa arab sangatlah penting. Karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah yang artinya : “ Sungguh kami turunkan Alquran dengan bahasa Arab supaya kamu memahami.” [QS. Yusuf : 2].
Tanpa mengetahui bahasa arab, tidak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Sebagai contoh ayat : Tsummas tawaa ilas samaa’i. makna Istiwa ini banyak di perselisihkan. Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang sangat keliru. Tidak sesuai dengan bahasa arab. Yang benar, menurut pendapat para Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Istiwaa artinya ‘ala wa Irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya denganAl-‘Ali (Maha Tinggi).
Anehnya banyak orang penganut faham Mu’tazilah yang menafsiri lafadz Istawa dengan Istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab Tafsir, Tauhid dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits yang shahih, perkataan para sahabat dan para Tabi’in, mereka mengingkari bahasa Arab di mana Alquran diturunkan dengan bahasa itu. Al Imam Ibnu Al Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan “Hitthotun” (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka rubah menjadi “Hinthotun” (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu’tazilah yang mengartikan Istiwa dengan arti Istaula.
Contoh kedua, pentingnya bahasa arab dalam menafsirkan suatu ayat, misalkan ayat yang artinya : “ Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah ( yang Haq ) melainkan Allah…” [QS. Muhammad : 19].
Ilah artinya Al Ma’bud ( yang di sembah) maka kalimat Laa ilaaha Illallaah, artinya La Ma’buuda illallaah (tidak ada yang patut di sembah kecuali Allah). Sesuatu yang di sembah selain Allah itu banyak ; Orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nashrani menyembah ‘Isa Al Masih, tidak sedikit dari kaum muslimin sangat di sesalkan karena menyembah para wali dan berdo’a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Rasulullah berkata, Artinya :” Do’a itu ibadah.” [HR.Tirmidzi].
Karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat diatas harus ditambah dengan kata Haq sehinggan maknanya menjadi Laa Ma’buuda Haqqon Illallaah ( tidak ada sesembahan yang Haq kecuali Allah).Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang bathil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya : “ Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang Haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang bathil.” [QS. Luqman : 30].
Dengan di artikannya makna Ilah menjadi Al Ma’buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggian Nya di atas ‘Arsy dengan memakai dalil ayat berikut ini, yang artinya : “ Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di Bumi.” [QS. Az-Zukhruf : 84].
Sekiranya mereka mamahami arti Ilah dengan benar, niscaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah di terangkan di atas, Al Ilah itu artinya Al Ma’buud sehingga ayat itu artinya menjadi : “ Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di Bumi.”
Contoh ke tiga, pentingnya Gramatika bahasa arab untuk supaya bisa menafsirkan ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan namun ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, Firman Allah : “ Iyyaaka na’budu wa Iyyaaka nasta’in.”Artinya : “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu pula kami memohon pertolongan.” [QS Al Fatihah : 5].
Di dahulukan kata Iyyaaka atas kata kerja Na’budu dan Nasta’in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi Laa Na’budu illa iyyaaka walaa nasta’iinu illa bika yaa Allah, wanakhusshuka bil ‘ibaadah wal ‘Isti’aanah wahdaka. ( kami tidak menyembah siapa pun kecuali hanya kepada-Mu. Kami tidak memohon pertolongan kecuali hanya kepada-Mu, ya Allah. Dan hanya kepada-Mu saja kami memohon beribadah serta memohon pertolongan).
Mengetahui Asbabun Nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Alquran dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya : “ katakanlah : panggilah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan meiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara meraka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan Rahmat-Nya, serta takut akan Adzb-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti.” [QS.Al-Israa’ :56-57].
Ibnu Mas’ud berkata : Segolongan manusia ada yang menyembah segolongan Jin, lantas sekelompok Jin utu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadahannya, maka turunlah ayat “ Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan Mereka [Muttafaqun’Alaihi].
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para Nabi atau para Wali. Namun, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para Nabi atau Wali, maka Tawassul semacam ini di bolehkan.
Wallahu’alam bis Showab
17 Senin Sep 2012
DALAM episode sejarah kehidupannya, sekalipun Muhammad dipersiapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala selama empat puluh tahun lamanya untuk menjadi komunikator-Nya, terbukti belum cukup. Segudang pengalaman, meliputi pengalaman spiritual, psikologi, diplomasi, pekerja sosial, militer, parenting, pemimpin, figur publik, tidak memadai sebagai modal untuk dijadikan problem solving dalam menterapi patologi sosial yang menjangkiti bangsanya pada stadium akut.
وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh Dhuha (93) : 7)
Bingung yang dimaksud adalah kebingungan – kehilangan arah/rute – untuk memperoleh kebenaran mutlak (al-Haqiqah al-Muthlaqah) yang tidak bisa dicapai oleh akal pikiran, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai jalan untuk memimpin ummat (masyarakat jahiliyah yang terjangkiti penyakit moral – minum-minuman keras, membunuh, mencuri, main judi, makan riba, main perempuan) menuju kebaikan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Itulah sebabnya, beliau senang berkhalwat (menyendiri) selama tiga tahun untuk mengadakan perenungan yang luar biasa (untuk mencari solusi mengatasi kerumitan masyarakat jahiliyah) di Gua Hira.
22 Rabu Agu 2012
Posted Al Quran, Astronomy, Doa dan Dzikir, Waktu dan Relativity Theory
inSahabat…. Hidup ini sangat singkat, Kata pepatah jawa “urip mung mampir ngombe” hidup cuma mampir buat minum aja.
Al Quran mengatakan secara implisit bahwa satu hari diakhirat rasanya bagaikan seribu tahun di dunia.
Al Quran berkata (QS 22:47, 32:5):
Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu
Bagaimana dengan manusia? Siapa yg melihat umur manusia?
(Q.S. 23:112-114)
Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?”
Mereka menjawab: “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung”.
Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui”
Mari kita lihat berdasarkan ayat ayat Al Quran diatas sebagai sumber kebenaran absolut. Baca lebih lanjut
04 Rabu Jul 2012
Posted Al Quran, Tadabbur al quran
in“Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Al-Qur’an…”.
Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.
Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan.
Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya. Baca lebih lanjut
16 Rabu Nov 2011
Posted Tadabbur al quran
inPosted by SALAFIYUNPAD™
Pada edisi sebelumnya, telah kami posting RUMUS PRAKTIS MUDAH MENGHAFAL AL QUR’AN maupun bekal-bekal yang harus dipersiapkan oleh para penghafal Al Qur’an Al Karim. Sedangkan pada edisi kali ini, kami akan berikan penjelasan tentang CARA MUDAH MENGHAFAL AL QUR’AN yang ditulis oleh Syeikh Abdul Muhsin Al-Qasim. Beliau adalah Imam dan Khatib di Masjid Nabawi. Semoga Artikel kali ini bermanfaat dan dapat menambah semangat kaum Muslimin untuk dapat menyelesaikan hafalan Al Qur’an yang mulia. Selamat mencoba. [admin]
الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد ، وعلى آله وصحبه أجمعين
Berikut adalah metode untuk menghafal Al-Quran yang memiliki keistimewaan berupa kuatnya hafalan dan cepatnya proses penghafalan. Kami akan jelaskan metode ini dengan membawa contoh satu halaman dari surat Al-Jumu’ah:
1. Bacalah ayat pertama sebanyak 20 kali :
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ
2. Bacalah ayat kedua sebanyak 20 kali:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
3. Bacalah ayat ketiga sebanyak 20 kali:
وَآَخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
15 Selasa Nov 2011
Posted Al Quran, Keajaiban Al Quran, Tadabbur al quran, Uncategorized
inAda 3 prinsip (Three P) yang harus difungsikan oleh ikhwan/akhwat kapan dan dimana saja berada sebagai sarana pendukung keberhasilan dalam menghafal al qur’an. 3P (Three P) tersebut adalah:
Kewajiban utama penghafal al-qur’an adalah ia harus menghafalkan setiap harinya minimal satu halaman dengan tepat dan benar dengan memilih waktu yang tepat untuk menghafal seperti:
a. Sebelum tidur malam lakukan persiapan terlebih dahulu dengan membaca dan menghafal satu halaman secara grambyangan (jangan langsung dihafal secara mendalam).
b. Setelah bangun tidur hafalkan satu halaman tersebut dengan hafalan yang mendalam dengan tenang lagi konsentrasi
c. Ulangi terus hafalan tersebut (satu halaman) sampai benar-benar hafal diluar kepala
Setelah dilakukan persiapan secara matang dengan selalu mengingat-ingat satu halaman tersebut, berikutnya tashihkan (setorkan) hafalan antum kepada ustad/ustadzah. Setiap kesalahan yang telah ditunjukkan oleh ustad, hendaknya penghafal melakukan hal-hal berikut:
a. Memberi tanda kesalahan dengan mencatatnya (dibawah atau diatas huruf yang lupa)
b. Mengulang kesalahan sampai dianggap benar uoleh ustad.
c. Bersabar untuk tidak menambah materi dan hafalan baru kecuali materi dan hafalan lama benar-benar sudah dikuasai dan disahkan Baca lebih lanjut
20 Selasa Sep 2011
Posted Al Quran, Tadabbur al quran, Tafsir Al Quran, Uncategorized
inOleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-AlbaniPertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : “Apa yang harus dilakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an ?”Jawaban.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan manuju cahaya Islam.Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Ibrahim : 1.
“Artinya : Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak mejelaskan, menerangkan, dan menafsirkan isi Al-Qur’an.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat An-Nahl : 44
“Artinya : Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kami menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”.
Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur’an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi semuanya dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm : 3-4.
“Artinya : Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur’an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata, “Berpeganglah kalian kepada Al-Qur’an. Apapun yang dikatakan halal didalam Al-Qur’an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram dalam Al-Qur’an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya” [Takhrijul Misykat No. 163]
Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur’an adalah:
Cara Pertama.
Adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa : ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Cara Kedua.
Adalah dengan penafsiran para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur’an serta cara memahaminya dan juga cara menafsirkannya. Sedangkan mengenai Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud pernah berkata : “Dia adalah penerjemah Al-Qur’an”. Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain.
Cara Ketiga.
Yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsiran dari para tabi’in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid-murid Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, seperti : Sa’ad bin Juba’ir, Thawus. Mujahid, dan lain-lain.
Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra’yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela satu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama ahli tafsir.
Untuk menunjukkan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur’an surat Al-Muzammil : 20.
“Artinya : Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an”
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang sedang berdiri shalat adalah ayat-ayat Al-Qur’an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca Al-Qur’an. (tidak harus Al-Fatihah -pent-).
Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (surat Al-Fatihah)” [Shahihul Jaami’ No. 7389]
Dan di hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah maka shalatnya kurang, shalatnya kurang, shalatnya kurang, tidak sempurna” [Shifatu Shalatain Nabiy hal. 97]
Berdasarkan tafsir diatas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur’an kecuali dengan hadits yang mutawatir. dengan kata lain mereka mengatakan, “Tidak boleh menafsirkan yang mutawatir kecuali dengan yang mutawatir pula”. Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra’yu dan madzhab.
Padahal semua ulama tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya sependapat bahwa maksud ‘bacalah’ dalam ayat di atas adalah ‘shalatlah’. Jadi ayat tersebut maksudnya adalah : “Maka shalatlah qiyamul lail (shalat malam) dengan bilangan raka’at yang kalian sanggupi”.
Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut.
“Artinya : Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang besama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah ; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam shalat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk shalat malam dengan jumlah raka’at kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sebelas raka’at. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut.
Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya “menyebut sebagian” tetapi yang dimaksud adalah “keseluruhan”[1]
Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur’an adalah bagian dari shalat. Allah sering menyebut kata “bacaan/membaca” padahal yang dimaksud adalah shalat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an itu merupakan bagian penting dari shalat.
Contohnya adalah dalam surat Al-Isra’ : 78
“Artinya : Dirikanlah shalat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikanlah pula bacaan fajar”
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut ‘qur’ana al-fajri’. Tapi yang dimaksud adalah shalat fajar (shalat shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab.
Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam shalat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur’an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal.
Tafsiran ayat di atas (Al-Muzzammil : 20) datang dari para ulama tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur’an.
Tidak mungkin perkataan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur’an. Justru perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu menafsirkan dan mejelaskan isi Al-Qur’an.
Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam shalatnya. Sama sekali tidak. baik shalat fardhu atau shalat sunat.
Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita.
Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah/kitab-kitab hadits yang sanad-sanandnya shahih.
Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata : “Kami tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja”.
Demikian sangkaan mereka. padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid [Shahih Bukhari No. 1458, Shahih Muslim No. 19], padahal Mu’adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu’adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikan adalah menyangkut masalah aqidah -pent-).
[Disalin kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur’an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz]
_________
Foote Note.
[1] Misalnya : Menyebut ‘bacaan Al-Qur’an’ tetapi yang dimaksud adalah shalat karena bacaan Al-Qur’an itu bagian dari shalat. Menyebut kata nafs (=jiwa, nyawa) tetapi yang dimaksud adalah manusia, Menyebut ‘darah’ atau ‘memukul’ padahal yang dimaksud adalah membunuh (-pent-)