Macam Kedua : Air Musta’mal, Yang Terpakai
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota-anggota orang yang berwudhu’ dan mandi.
Hukumnya suci lagi menyucikan sebagai halanya air mutlak tanpa perlu berbeda sedikitpun. Hal itu ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang mengeluarkannya dari kesucian itu.
Juga karena hadit Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewakti menerangkan cara wudhu’ Rasulullah saw, katanya: “Dan juga disapunya kepalanya dengan sisa wudhu’ yang terdapat pada kedua tangannya.”
Juga dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi saw berjumpa dengannya di salah satu jalan kota Madinah sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari Rasulullah saw lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw kemana ia tadi, yang dijawabnya bahwa ia darang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.”
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah kearena disana dinyatakan bahwa orang Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.
Berkata Ibnul Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, ‘Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha;, Makhul dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang lupa menyapu kepalanya lalu mendapatkan air di janggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini menunjukkan bahwa air musta’mal itu mensucikan dan demikianlah pendapatku.”
Dan madzhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’i, dan menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur dan semua ahli Zhahir.
Macam Ketiga : Air Yang Bercampur Dengan Barang yang Suci
Misalnya seperti sabun, kiambang, tepung dan lain-lain yang biasanya terpisah dari air.
Hukumnya tetap mensucikan selama kemutlakannya masih terpelihara. Jika sudah tidak, hingga ia tak dapat lagi dikatakan air mutlak, maka hukumnya ialah suci pada dirinya, tidak mensucikan bagi lainnya.
Diterima dari Ummu Athiyah, katanya :
“Telah masuk ke ruangan kami Rasulullah saw ketika wafat puterinya Zainab, lalu katanya : ‘Mandikanlah ia tiga atau lebih banyak lagi jika kalian mau, dengan air dan daun bidara, dan campurlah yang penghabisan dengan kapur barus atau sedikit daripadanya. Jika sudah selesai, beritahukanlah kepadaku.‘ Maka setelah selesai, kami sampaikanlah kepada Nabi saw. Diberikannyalah kepada kami kainnya serta katanya : ‘Balutkanlah pada rambutnya!‘ Maksudnya kain itu.” (HR. Jama’ah)
Sedang mayat tidak boleh dimandikan kecuali dengan air yang sah untuk mensucikan orang yang hidup. Dan menurut riwayat Ummu Hani’, bahwa Rasulullah saw mandi bersama Maimunah dari sebuah bejana, yaitu sebuah pasu yang didalamnya terdapat sisa tepung.
Jadi di dalam kedua hadits terdapat percampuran, hanya tidak sampai sedemikian rupa yang menyebabkannya tak dapat lagi disebut air mutlak.
Fiqih Sunnah – Sayyid Sabiq